Hujan Kota Jakarta membasahi kaca jendela apartemenku. Aroma kopi robusta yang kubuat sendiri tak mampu menghangatkan dinginnya perasaan yang menjalar di sekujur tubuhku. Layar ponselku menyala, memamerkan sisa-sisa percakapan kita. Sebuah arsip kenangan yang tak berani kuhapus, namun terlalu sakit untuk dibaca.
Kita bertemu di aplikasi kencan. Klise, memang. Namun, di antara jutaan notifikasi dan profil palsu, ada kamu. Ray, namanya. Fotomu yang tersenyum di bawah rintik hujan Tokyo, membuatku jatuh hati dalam sekali pandang. Obrolan kita mengalir deras, seperti sungai yang mencari muara. Kita berbagi mimpi, ketakutan, dan harapan. Kita merencanakan masa depan, yang kini hanyalah fragmen mimpi yang berserakan.
Cinta kita tumbuh subur di antara emoji hati dan panggilan video tengah malam. Kita menjelajahi setiap sudut kota bersama, dari hiruk pikuk Blok M hingga tenangnya Kepulauan Seribu. Setiap sentuhanmu terasa seperti melodi indah yang tak ingin kuakhiri. Aku merasa lengkap, utuh, akhirnya bahagia.
Namun, kebahagiaan itu rapuh, seperti gelembung sabun yang pecah tertiup angin. Ray mulai berubah. Balasannya semakin singkat, senyumnya semakin jarang. Pertemuan kita semakin langka, digantikan dengan alasan yang semakin absurd. Aku bertanya-tanya, apa salahku? Ke mana perginya Ray yang dulu, yang begitu mencintaiku?
Aku mencoba mencari jawaban. Aku membuka setiap pesan yang belum terkirim, mencarinya di setiap jejak digital yang kita tinggalkan. Aku menemukan kebohongan, satu demi satu. Ternyata, selama ini aku hanya bagian dari permainan. Ada wanita lain, wanita yang jauh lebih menarik, lebih kaya, lebih segalanya dariku.
Perasaan kehilangan itu menyelimutiku, seperti kain kafan yang dingin dan menyesakkan. Aku merasa bodoh, naif, dan TERLALU MENCINTAI. Tangisanku pecah, membasahi pipiku. Aku menangis untuk cinta yang hilang, untuk mimpi yang hancur, dan untuk diriku sendiri yang terluka.
Namun, di balik air mata, muncul sebuah kekuatan baru. Kekuatan untuk melepaskan, untuk memaafkan, dan untuk melanjutkan hidup. Aku tidak akan membiarkan Ray menghancurkanku. Aku akan bangkit, lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih berani.
Aku membuka layar ponselku sekali lagi. Kubaca semua pesan kita, dari awal hingga akhir. Senyum pahit terukir di bibirku. Aku mengetik sebuah pesan terakhir: "Selamat berbahagia, Ray. Semoga dia tahu cara mencintaimu lebih baik dari yang kulakukan."
Aku menghapus semua fotomu dari ponselku. Kubuang semua kenangan tentangmu ke dalam lautan masa lalu. Aku menutup pintu hatiku untukmu, selamanya.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Aku membutuhkan ruang baru, udara baru, dan perspektif baru. Aku naik pesawat ke Bali, pulau yang selalu kurindukan. Aku duduk di tepi pantai, menatap matahari terbenam. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku, membawa serta semua kesedihanku.
Aku membuka aplikasi kencan sekali lagi. Kali ini, aku mencari diriku sendiri.
Pesan terakhir yang kutinggalkan untuk Ray adalah sebuah foto. Foto diriku yang tersenyum lebar di bawah matahari Bali, dengan caption: "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengajariku cara mencintai diri sendiri."
Aku menekan tombol send.
Aku menutup mataku, menikmati hangatnya mentari. Aku merasa ringan, bebas, dan... kosong.
Dan dia tidak pernah membalas.
You Might Also Like: Reseller Kosmetik Bisnis Rumahan Kota
Post a Comment