Embun pagi merayap di jendela kamarku, sama dinginnya dengan senyumku beberapa tahun terakhir. Dulu, senyum ini adalah miliknya. Sekarang, hanya topeng yang kupakai untuk menutupi luka yang menganga lebar. Luka yang ia torehkan.
Aku mengingat malam itu, malam ketika bintang-bintang runtuh di langit hatiku. Nama Ling Xiao berkilauan di layar ponselku, terpampang di antara ribuan komentar live streaming seorang gadis yang bahkan tidak kukenal. Gadis yang disebut-sebut sebagai kekasih barunya.
Dulu, Ling Xiao hanya menulis namaku di buku catatannya, di ukiran pohon di taman rahasia kita, di hatinya. Setidaknya, itulah yang kubpercayai.
Aku, Mei Lan, yang dulunya adalah dunianya, kini hanyalah jejak langkah yang ia hapus dengan sengaja.
Kisah ini bukan tentang cinta yang bersemi di bawah payung yang sama di tengah hujan musim semi. Ini tentang kebohongan yang dibangun di atas pasir, dan kebenaran yang terkubur di bawahnya. Aku, Mei Lan, hidup dalam kebohongan yang ia ciptakan. Kebohongan tentang cinta abadi, tentang janji sehidup semati, tentang masa depan yang indah.
Dan dia, Ling Xiao, dia hidup dalam kebohongan yang lebih besar: keyakinan bahwa aku akan membiarkannya bahagia dengan wanita lain.
Bertahun-tahun berlalu. Aku menghilang dari radarnya. Aku menjadi bayangan di kota yang sama, mengumpulkan serpihan hatiku yang hancur. Aku belajar, aku bekerja, aku MERENCANAKAN.
Kebenaran, seperti racun yang disuntikkan perlahan, mulai terkuak. Gadis itu, bukan cinta. Dia hanya alat. Alat untuk menutupi kebenaran yang lebih gelap, kebenaran tentang bisnis keluarga Ling Xiao yang kotor, kebenaran tentang korupsi dan pengkhianatan.
Dia mengira aku lemah, dia mengira aku akan menyerah. Dia SALAH.
Malam ini, aku kembali. Bukan sebagai Mei Lan yang lugu dan mencintainya tanpa syarat. Aku kembali sebagai bayangan yang akan menghantuinya.
Aku membiarkan kebenaran itu meledak di depan matanya. Skandal keluarga Ling Xiao terpampang di semua media. Reputasinya hancur. Bisnisnya kolaps. Dia kehilangan segalanya.
Ia mencoba menghubungiku. Ia memohon. Ia meratap.
Aku hanya tersenyum. Senyum yang dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan yang pahit.
"Kau menulis namaku di komentar live, Ling Xiao," ujarku, suaraku setenang air sungai. "Tapi aku sudah tidak lagi online dalam kehidupanmu."
Aku menutup telepon. Malam ini, keadilan telah ditegakkan.
Balas dendamku bukan tentang teriakan dan air mata. Balas dendamku adalah keheningan yang menghancurkan, senyum yang menyimpan perpisahan abadi. Aku menghancurkannya dengan tenang, dengan elegan, dengan memori semua kebohongannya.
Dan saat aku berjalan menjauh, aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah dia akhirnya mengerti kenapa dia kehilangan semuanya?
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Alami Untuk
Post a Comment