Hujan menyelimuti pusara batu, setiap tetesnya adalah bisikan pilu yang tak terucap. Di antara jajaran nisan yang membisu, berdirilah Ling Wei, bukan sebagai manusia, melainkan roh yang terikat. Dunia arwah adalah cahaya pudar yang mereplikasi kehidupan; sunyi, indah, dan dipenuhi bayangan yang menolak untuk pergi. Seperti dirinya.
Dulu, Ling Wei adalah seorang ahli kaligrafi, tangannya menari di atas kertas, menciptakan keindahan yang abadi. Namun, keabadian itu direnggut paksa. Ia pergi sebelum sempat mengucapkan kebenaran, kebenaran yang kini membebani arwahnya.
Setiap malam, ia kembali ke dunia manusia, menembus lapisan tipis antara hidup dan mati. Ia melihat rumahnya, kini dihuni oleh wajah-wajah asing. Ia melihat meja kerjanya, tempat tinta mengering dan kuas berdebu. Ia melihat kekasihnya, Mei Lian, tertawa bersama pria lain.
Pengkhianatan pertama... kata-kata itu mengalir bagai racun di nadinya. Ia ingin berteriak, memohon penjelasan. Namun, roh tak memiliki suara. Hanya keheningan yang menggantung, sama beratnya dengan beban di hatinya.
Ia mengikuti Mei Lian dalam diam. Menyaksikan tawanya, senyumnya, kebahagiaannya yang ia duga palsu. Ia mencari jejak penyesalan di matanya, tanda-tanda bahwa ia masih mengingat janji suci mereka. Namun, yang ia temukan hanya kekosongan.
Beberapa malam kemudian, Ling Wei menemukan sebuah kotak tersembunyi di loteng. Kotak itu berisi surat-surat cinta yang ia tulis untuk Mei Lian. Surat-surat itu ditumpuk rapi, seolah Mei Lian menyimpannya sebagai harta karun. Di dalam kotak itu pula, ia menemukan sebuah lukisan potret dirinya yang belum selesai. Di belakang lukisan itu, tertulis, "Maafkan aku, Wei. Aku tidak punya pilihan."
Hujan di atas makamnya terasa semakin deras. Tiba-tiba, ia mengerti. Kebenarannya bukan tentang pengkhianatan, melainkan tentang pilihan. Mei Lian terpaksa melepaskannya demi menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan. Pria yang bersamanya adalah penyelamat, bukan pengganti.
Kemarahan dan kebencian yang selama ini membakar arwahnya, perlahan padam. Digantikan oleh rasa sakit dan pengertian. Ia hanya ingin Mei Lian bahagia, bahkan jika kebahagiaan itu tak melibatkan dirinya.
Di pagi yang sunyi, saat mentari pertama menyentuh bumi, Ling Wei berdiri di depan makamnya. Ia menatap pusara batu itu, bukan dengan amarah, melainkan dengan kedamaian. Ia telah menemukan apa yang ia cari selama ini. Bukan balas dendam, melainkan pemahaman.
Udara di sekelilingnya bergetar, aura rohnya memudar. Tugasnya telah selesai. Ia siap untuk beristirahat.
Mungkin, di alam sana, bunga-bunga mekar lebih indah...
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama Bisnis_5
Post a Comment