Kabut lavender menggantung rendah di atas Paviliun Terlarang, menyelimuti atap-atap berukir naga dengan misteri. Hari itu, langit menangis kristal-kristal es tipis, setiap butirnya menari seperti kenangan yang hendak dilupakan. Upacara pernikahan Putri Lianhua akan segera dimulai, sebuah simfoni emas dan merah di tengah kebekuan yang menyayat.
Aku, Wei, hanya seorang pelukis istana, bersembunyi di balik pilar berukir phoenix, berusaha menangkap momen sakral ini dalam benakku – dan mungkin, suatu hari, di atas kanvas. Namun, mataku tak menemukan kedamaian dalam ritual agung itu. Mataku mencari sesuatu yang lain.
Dan kemudian, aku melihatmu.
Putri Lianhua, berdiri anggun di tengah altar, di bawah untaian mutiara yang berkilauan bagai air mata dewi. Namun, wajahnya adalah danau beku, tanpa riak, tanpa kehidupan. Hingga, mata kita bertemu.
Di tengah gemuruh doa dan denting lonceng emas, di tengah tabir sutra merah yang mengaburkan pandangan, kau menatapku. Mata kita terkunci, dua bintang jatuh yang bertemu di kegelapan semesta.
Mata kita berbicara. Lebih jujur dari sumpah yang diucapkannya. Lebih dalam dari sungai tinta yang mengalir dari kuas ku. Mata itu berbisik tentang taman rahasia di bawah pohon sakura yang abadi, tentang perahu kertas yang berlayar di sungai mimpi, tentang kita.
Di matamu, aku melihat bayangan diriku yang lain, Wei yang seharusnya, bukan hanya seorang pelukis, tapi seorang pangeran yang hilang, seorang pejuang yang pemberani, seorang kekasih yang pantas.
Hari-hari berikutnya adalah labirin mimpi yang indah dan menyakitkan. Aku melukismu, Putri Lianhua, berulang kali. Bukan Lianhua yang dikenal istana, tapi Lianhua yang kutahu, Lianhua yang memiliki tawa seperti lonceng perak dan hati selembut sutra. Lukisan-lukisan itu menjadi pintu gerbang menuju dunia di mana kita bisa bersama, di mana aturan istana dan jurang kasta tak lagi berarti.
Namun, kenyataan adalah duri yang selalu siap menusuk. Aku hanya seorang pelukis. Kau adalah seorang putri, terikat janji pada takdir yang telah tertulis.
Akhirnya, tiba saatnya. Aku dipanggil ke hadapanmu. Kau berdiri di balkon istana, memandang hamparan salju yang tak berujung.
"Wei," bisikmu, suaramu rapuh seperti pecahan kaca. "Lukisan-lukisanmu… kau melihatku."
Aku terdiam, menahan napas.
"Aku… aku bermimpi tentangmu, Wei. Setiap malam. Kita menari di bawah bulan purnama, kita terbang di atas awan, kita… mencintai."
Momen Pengungkapan:
Kau menoleh, mata kita bertemu lagi. Dan di sana, di mata itu, aku melihat kilatan kesadaran yang mengerikan.
"Kau… kau bukan Wei," bisikmu, suaramu bergetar. "Kau adalah YANG TERLUPAKAN. Kau adalah kenangan dari kehidupan yang lain… dari cinta yang terlarang… dari takdir yang diubah…"
Kau adalah Putri Lianhua dari Dinasti Masa Depan, dan aku adalah Wei, pelukis yang mati seribu tahun lalu. Lukisan-lukisanku bukan sekadar lukisan, tapi portal waktu, jembatan antara dua jiwa yang ditakdirkan untuk saling menemukan… dan kehilangan lagi.
Kenyataan menghantamku bagai gelombang tsunami. Keindahan cinta ini, justru memperdalam luka. Kehadiranku, hanya akan membangkitkan memori pahit yang seharusnya terkubur.
"Pergilah, Wei. Lupakan aku. Lupakan kita." Air mata mengalir di pipimu, mencairkan salju di balkon. "Biarkan kenangan ini… mati."
Aku berbalik, melangkah pergi, meninggalkanmu di balkon yang membeku, meninggalkan sisa-sisa mimpi yang runtuh.
Dan saat aku menghilang dalam kabut, aku mendengar bisikan dari masa lalu, "... Kita akan bertemu lagi, di kehidupan selanjutnya..."
You Might Also Like: 5 Rahasia Tafsir Memberi Makan Belut
Post a Comment